ADS

Sabtu, 21 Maret 2015

Pendekatan Perspektif Biologis Dalam Kesehatan Mental

Ini merupakan contoh tugas makalah dari pendekatan perspektif Biologis dalam Kesehatan mental.
apabila ingin mengambil secara mentah mentah bisa langsung klik disini.
Selamat membaca, dan selamat menambah ilmu pengetahuan.
Terima kasih telah mengunjunggin Blog saya.

By: Alif Noor Cahya P



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Apakah yang dimaksud dengan perilaku abnormal? Bagaimana kita dapat mengartikan apa abnormal tersebut? Kita dapat mengenali perilaku yang ‘aneh’ saat kita melihatnya namun bagaimana kita ‘mengartikan’ hal tersebut. Kebanyakan dari kita menghindari apa yang kita percayai sebagai perilaku yang ‘ganjil’, sebagai contohnya kita kemungkinan memilih untuk tidak duduk di samping seseorang yang berpakaian aneh. Kita tidak menyukai orang-orang yang berbau tidak enak dan akan berusaha menghindari mereka. Karena itu semua, kita mungkin mengartikan abnormalitas sebagai sesuatu yang tidak bisa diterima oleh masyarakat. Tetapi bagaimana itu bisa mengartikan apa yang dimaksud dengan ‘sesuatu yang normal’? Bagaimana kita dapat mengerti perilaku yang tidak wajar?
Banyak pelajar jaman sekarang meyakini bahwa pola perilaku abnormal adalah suatu fenomena yang kompleks dan lebih mudah dipahami dengan memperhitungkan kontribusi dari beberapa faktor yang mewakili perspektif-perspektif yang berbeda, daripada hanya dari satu faktor kausal. Sejak zaman dahulu, manusia telah mencari penjelasan dari perilaku yang aneh atau menyimpang. Pada abad pertengahan, kebanyakan orang percaya bahwa perilaku abnormal disebabkan oleh iblis dan kekuatan supernatural. Tetapi bahkan pada zaman kuno, beberapa ahli seperti Hippocrates dan Galen, mencari penjelasan alamiah tentang perilaku abnormal. Sekarang, saat takhyul dan demonology telah berganti dengan model teoritis dari ilmu-ilmu alam dan sosial. Pendekatan ini membuka jalan tidak hanya untuk mengerti perilaku abnormal secara ilmiah tetapi juga membuka jalan untuk mengetahui bagaimana mengobati individu yang menderita gangguan psikologis.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Perilaku Abnormal dari Sudut Pandang Biologis
DSM-IV mendefinisikan perilaku abnormal sebagai a clinically significant behavioral or psychological syndrome or pattern thatoccurs in an individual and that is associated with present distress (e.g., a painfulsymptom) or disability (i.e., impairment in one or more important areas of functioning) or with a significantly increased risk of suffering death, pain, disability,or an important loss of freedom. (American Psychiatric Association, 2000a,p. xxxi)” yang dapat diartikan bahwa perilaku abnormal adalah sebuah perilaku yang signifikan secara klinis atau sindrom/pola psikologis yang terdapat dalam diri seseorang dan berhubungan dengan keadaan yang menderita (contoh: gejala kesakitan) atau kecacatan (contoh: kerusakan fungsi pada daerah-daerah yang penting) atau dengan peningkatan yang signifikan pada resiko terhadap menderita kematian, sakit, cacat, atau kehilangan kebebasan.
Sudut pandang biologis melihat abnormalitas sebagai suatu penyakit. Penyakit yang mengakibatkan perilaku abnormal dalam berperilaku ini terjadi karena kerusakan pada sistem saraf pusat, sistem saraf simpatik dan parasimpatik, kelainan pada sistem endokrin maupun berbagai kondisi fisiologis. Dalam sudut pandang biologis, dinyatakan bahwa abnormalitas terjadi dikarenakan oleh hal-hal yang bersifat biologis seperti kelainan genetis, kerusakan sel otak dan saraf,  kelainan produksi bahan kimia dalam tubuh dan ketidakseimbangan hormonal. Dengan demikian, abnormalitas selalu berkaitan dengan kondisi neurologis.
Seorang dokter Jerman, Wilhelm Griesinger (1817-1868) menyatakan bahwa perilaku abnormal berakar pada penyakit di otak. Pandangan ini cukup memengaruhi dokter Jerman lainnya, seperti Emil Kraepelin (1856-1926) yang menulis buku teks penting dalam bidang psikiatri pada tahun 1883. Ia meyakini bahwa gangguan mental berhubungan dengan penyakit fisik. Memang tidak semua orang yang mengadopsi model medis ini meyakini bahwa setiap pola perilaku abnormal merupakan hasil dari kerusakan biologis, namun mereka mempertahankan keyakinan bahwa pola perilaku abnormal tersebut dapat dihubungkan dengan penyakit fisik karena ciri-cirinya dapat dikonseptualisasikan sebagai simtom-simtom dari gangguan yang mendasarinya.

B.     Penyebab Perilaku Abnormal
Berdasarkan sumber asalnya, sebab-sebab perilaku abnormal dapat digolongkan sedikitnya menjadi tiga, yaitu faktor biologis, faktor psikososial, dan faktor sosiokultural. Namun dalam makalah ini kami akan memfokuskan pada pembahasan faktor biologis.
Yang dimaksud faktor biologis adalah berbagai keadaan biologis atau jasmani yang dapat menghambat perkembangan maupun fungsi sang pribadi dalam kehidupan sehari-hari, seperti kelainan gen, kurang gizi, penyakit, dan sebagainya. Pengaruh faktor biologis lazimnya bersifat menyeluruh. Artinya, mempengaruhi seluruh aspek tingkah laku, mulai dari kecerdasan sampai daya tahan terhadap stres. Beberapa jenisnya yang terpenting adalah sebagai berikut:
a.       Cacat Genetik
Keadaan ini biasanya berupa anomali atau kelainan kromosom. Kelainan struktur atau jumlah kromosom, misalnya dapat menimbulkan aneka cacat dan gangguan kepribadian. Contoh: sindrom Down, yaitu sejenis keterbelakangan mental akibat adanya trisomi dalam struktur kromosom penderita; sindrom Klinefelter, yaitu sejenis kelainan berupa tubuh pria namun dengan sifat wanita, akibat kelebihan kromosom X pada kromosom jenis kelamin XXY.
b.      Kelemahan Konstitusional
Konstitusi adalah struktur (makeup) biologis individu yang relatif menetap akibat pengaruh-pengaruh genetik atau lingkungan sangat awal, termasuk lingkungan pranatal. Konstitusi mencakup beberapa aspek sebagai berikut:
1)        Fisik atau bangun tubuh
Sheldon (1954) adalah salah seorang tokoh perintis yang mengaitkan bangun tubuh dengan sifat kepribadian dan psikopatologi. Sebagai contoh, ia membedakan tiga macam bangun tubuh: endomorfik, yaitu pendek dan gemuk; mesomorfik, yaitu sedang dan berotot; dan ektomorfik, yaitu jangkung dan kurus. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa fisik bukan merupakan penyebab psikopatologi, tetapi mempengaruhi jenis gangguan yang akan diderita seseorang bila suatu saat ia terkena stres berat. Misalnya, orang yang berfisik endomorfik cenderung rentan terhadap gangguan afeksi berupa perubahan tak menentu antara perasaan gembira dan sedih yang bersifat ekstrem (psikosis manik-depresif); orang yang berfisik mesomorfik cenderung rentan terhadap gangguan delusi berupa pikiran bahwa dirinya terkutuk dan dikejar-kejar (psikosis paranoid); sedangkan orang yang berfisik ektomorfik cenderung rentan terhadap gangguan berupa menarik diri secara ekstrem (psikosis skizofrenik).
2)        Cacat fisik
Cacat fisik dibedakan atas cacat kogenital atau cacat bawaan, yaitu cacat yang sudah dibawa sejak lahir, dan cacat yang diperoleh sesudah lahir. Pengaruh dari suatu cacat bergantung pada cara individu yang bersangkutan menerima/memandang dan menyesuaikan diri dengan keadaannya tersebut (menjadi minder, dan sebagainya) serta perlakuan masyarakat terhadap dirinya.
3)        Kecenderungan reaksi primer
Kecenderungan reaksi primer meliputi kepekaan, tempramen, tingkat aktivitas, dan cara-cara khas bereaksi terhadap frustrasi. Tiga faktor yang pertama mempengaruhi cara interaksi individu dengan lingkungan sosialnya. Interaksi dengan lingkungan sosial itu selanjutnya akan menentukan besar-kecilnya kemungkinan seseorang mengalami masalah. Anak yang memiliki tingkat aktivitas yang tingi, misalnya, cenderung lebih mudah menjadi bermasalah. Sedangkan faktor yang keempat akan menentukan cara seseorang bereaksi terhadap stres. Sebagai contoh, ada orang yang menjadi sulit tidur atau menderita jenis gangguan lain setiap kali mengalami stres.
c.       Deprivasi Fisik
Malnutrisi atau kekurangan gizi di masa bayi dapat menghambat pertumbuhan fisik, melemahkan daya tahan terhadap penyakit, menghambat pertumbuhan otak dan berakibat menurunkan tingkat inteligensi. Pada masa dewasa, misalnya karena menjalani diet terlalu ketat, keadaan ini dapat berakibat menurunkan daya tahan seseorang terhadap stres dan meningkatkan kemungkinannya terkena psikosis atau gangguan-gangguan mental lain. Selain itu, akibat negatif malnutrisi dapat menurun ke genearasi berikut.
d.      Proses-proses Emosi yang Berlebihan
Gejolak emosi ekstrem yang berlangsung singkat dapat menganggu kemampuan seseorang untuk bereaksi secara tepat dalam situasi-situasi darurat. Korban dalam berbagai bentuk bencana atau musibah, sering adalah orang-orang yang cenderung mudah panik. Bila berlangsung dalam jangka panjang, gejolak emosi ekstrem itu dapat berakibat negatif terhadap penyesuaian diri orang yang bersangkutan secara keseluruhan. Misalnya, berakibat munculnya gejala-gejala penyakit tertentuk yang sulit disembuhkan, seperti gangguan pernafasan (asmatis), gatal-gatal, dan sebagainya, jenis-jenis penyakit yang disebut gangguan psikosomatik.
e.       Patologi Otak
Yang dimaksud adalah gangguan-gangguan organik atau penyakit yang langsung mengganggu atau bahkan melumpuhkan fungsi otak. Gangguan ini dapat bersifat sementara, misalnya suhu badan yang tinggi atau keracunan, atau dapat pula bersifat permanen, misalnya infeksi sipilis. Suhu badan tinggi dan keracunan dapat menimbulkan delirium atau kekacauan mental, misalnya dalam bentuk mengigau, yang bersifat sementara; sedangkan infeksi sipilis yang menyerang otak akan menimbulkan gangguan psikosis tertentu yang lebih sulit disembuhkan.

C.    Perspektif Kontemporer Biologis tentang Perilaku Abnormal
Perspektif biologis, berfokus pada perilaku abnormal secara biologis dan terapi berdasarkan pendekatan biologis, seperti terapi obat, untuk mengobati gangguan psikologis. Model medis, yang diilhami oleh para dokter mulai dari Hippocrates hingga Kraepelin, tetap memiliki kekuatan yang besar dalam pemahaman kontemporer tentang perilaku abnormal. Istilah perspektif biologis lebih sering digunakan daripada model medis untuk mengacu pada pendekatan yang berbasis biologis dalam menangani gangguan psikologis. Kita dapat membicarakan perspektif biologis tanpa harus mengambil doktrin dari model medis, yang memperlakukan pola perilaku abnormal sebagai gangguan dan ciri-cirinya sebagai simtom. Sebagai contoh, pola-pola perilaku tertentu (rasa malu atau tidak adanya kemampuan musikal) mungkin memiliki komponen genetis yang kuat namun tidak dapat dianggap “simtom-simtom” dari “gangguan” yang mendasarinya.
Perspektif biologis, atau model medis, adalah sebuah perkembangan dari somatogenesis. Berbagai faktor biologis telah terlibat dalam patofisiologi penyakit mental. Contohnya, ketidakseimbangan neurotransmitter memainkan peran dalam schizoprenia, depresi, kecemasan, dan bunuh diri. Ketidakseimbangan hormon seringkali dinyatakan pada perilaku gender-related seperti agresi. Komponen genetik dari penyakit mental ditemukan pada depresi, alchololism, dan schizophrenia; abnormalitas kromosom dapat ditemukan pada sindrom Down. Cacat fisik kemungkinan dikarenakan abnormalitas embrionik atau faktor environmental, seperti ibu yang mengkonsumsi alkohol ketika mengandung. Gangguan mental sering dihubungkan dengan cacat fisik termasuk learning disabilities dan gangguan emosi dan perilaku. Gangguan otak dapat terlihat pada penyakit seperti dementia (jenis Alzheimer), dan kehilangan kebutuhan dasar fisiologis seperti makan atau tidur dapat mengarah pada perasaan depersonalization dan depresi. Genetis memainkan peran besar dalam berbagai bentuk perilaku abnormal. Kita juga mengetahui bahwa faktor-faktor biologis lainnya, terutama berfungsinya sistem-sistem saraf, terlihat dalam perkembangan perilaku abnormal.
1.      Sistem Saraf
Sistem saraf terbuat dari sel-sel saraf yang disebut neuron. Neuron-neuron saling berkomunikasi satu sama lain, atau menyalurkan “pesan”. Pesan-pesan tersebut bersumber dari peristiwa-peristiwa yang beragam rentangnya, mulai dari merasa gatal karena gigitan kutu, mengkoordinasikan suatu gambar pandangan dan otot-otot dari peseluncur, menyusun sebuah simfoni, memecahan suatu perhitungan arsitektur, dan, dalam kasus halusinasi, mendengar atau melihat sesuatu yang sesungguhnya tidak ada. Neuron memancarkan pesan-pesan ke neuron lain melalui substansi kimia yang disebut neurotransmiter (neurotransmitter). Neurotransmitter mengakibatkan perubahan kimia pada neuron penerima. Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan akson mengirimkan pesan dalam bentuk listrik.
Psychiatric drugs, termasuk obat-obatan yang digunakan untuk mengobati kecemasan, depresi, dan skizofrenia, bekerja dengan mempengaruhi ketersediaan neurotransmitter di otak. Ketidakteraturan dalam kerja sistem neurotransmiter di otak berkaitan erat dengan pola-pola perilaku abnormal. Depresi berkaitan dengan disfungsi yang melibarkan neurotransmiter nonepinefrin dan serotonin. Obat-obatan antidepressant – prozac dan zoloft – merupakan obat-obatan yang meningkatkan ketersediaan serotonin di otak. Serotonin juga berkaitan erat dengan gangguan kecemasan, gangguan tidur, dan gangguan makan.
Penyakit Alzheimer, penyakit otak di mana terdapat kehilangan ingatan dan fungsi kognitif secara progresif, dikaitkan dengan berkurangnya tingkat neurotransmiter asetilkolin di otak. Ketidakteraturan yang melibatkan neurotransmiter dopamin tampaknya terlibat dalam skizofrenia. Orang-orang yang mengalami skizofrenia mungkin menggunakan lebih banyak dopamin yang tersedia di otak daripada orang-orang lain yang tidak mengalami skizofrenia. Hasilnya mungkin adalah halusinasi, pembicaraan yang tidak koheren, dan pemikiran delusional. Obat-obat antipsikotik yang digunakan untuk menangani skizofrenia tampaknya bekerja dengan memblok reseptor dopamin di otak.
2.      Bagian-Bagian Sistem Saraf
Sistem saraf terdiri dari dua bagian utama, sistem saraf pusat (central nervous system) dan sistem saraf tepi (peripheral nervous system). Kedua bagian ini juga terbagi-bagi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan tulang belakang. Sistem saraf tepi tersusun dari saraf-saraf yang (1) menerima dan menyalurkan pesan-pesan sensoris (pesan-pesan dari organ-organ sensoris seperti mata dan telinga) ke otak dan tulang belakang, dan (2) menyalurkan pesan dari otak atau tulang belakang ke otot-otot, menyebabkan mereka berkontraksi, dan ke kelenjar-kelenjar, menyebabkan mereka mensekresi hormon-hormon. Bagian-bagian sistem saraf dan fungsinya, antara lain:
a.       Medula, yaitu daerah di batang otak yang berperan dalam pengaturan detak jantung dan pernapasan.
b.      Pons, yaitu suatu struktur di batang otak yang berperan dalam pernapasan.
c.       Serebelum, yaitu sebuah struktur pada bagian batang otak yang berperan dalam koordinasi dan keseimbangan.
d.      Sistem aktivasi retikular, yaitu struktur otak yang berperan dalam proses perhatian, tidur, dan terjaga.
e.       Thalamus, yaitu sebuah struktur pada forebrain yang berperan dalam meneruskan informasi sensoris ke korteks dan dalam proses yang berkaitan dengan tidur dan perhatian.
f.       Hipotalamus, yaitu suatu struktur pada otak depan yang berperan dalam pengaturan suhu tubuh, emosi, dan motivasi.
g.      Sistem limbik, yaitu suatu kelompok struktur otak depan yang berperan dalam belajar, ingatan, dan dorongan-dorongan dasar mencakup lapar, haus dan agresi.
h.      Ganglia basalis, yaitu kelompok dari neuron-neuron yang terletak antara talamus dan serebrum, berperan dalam proses-proses koordinasi motorik (gerakan).
i.        Serebrum, yaitu bagian yang besar dari otak depan, terdiri dari dua hemisfer serebral.
j.        Korteks serebral, yaitu daerah permukaan yang berkerut-kerut pada serebrum, bertanggung jawab untuk memproses stimulus sensoris dan mengendalikan fungsi mental yang lebih tinggi, seperti berpikir dan penggunaan bahasa.
Struktur dan proses biologis terlibat dalam berbagai pola perilaku abnormal. Faktor genetik, begitu pula dengan gangguan fungsi neurotransmitter dan mendasari abnormalitas otak atau cacat, juga terlibat dalam banyak gangguan psikologis. Gen memainkan peran penting dalam menentukan kerentanan seseorang terhadap gangguan psikologis. Namun gen tidak banyak memberikan penjelasan untuk memahami asal-usul dari gangguan-gangguan tersebut. Para ilmuwan telah berpindah dari debat lama tentang “nature-nurture” (gen vs. lingkungan) ke penelitian tentang interaksi yang kompleks antara gen dan faktor lingkungan untuk lebih memahami faktor utama dari pola perilaku abnormal.

D.    Terapi Perilaku Abnormal Menurut Perspektif Biologis
Pendekatan biologis dalam penyembuhan perilaku abnormal berpendapat bahwa gangguan mental, seperti penyakit fisik disebabkan oleh disfungsi biokimiawi atau fisiologis otak. Terapi fisiologis dalam upaya penyembuhan perilaku abnormal meliputi kemoterapi, elektrokonvulsif dan prosedur pembedahan.
1.        Kemoterapi (Chemotherapy)
Chemotherapy atau Kemoterapi dalam kamus J.P. Chaplin diartikan sebagai penggunaan obat bius dalam penyembuhan gangguan atau penyakit-penyakit mental. Adapun penemuan obat-obat ini dimulai pada awal tahun 1950-an, yaitu ditemukannya obat yang menghilangkan sebagian gejala Schizophrenia. Beberapa tahun kemudian ditemukan obat yang dapat meredakan depresi dan sejumlah obat-obatan dikembangkan untuk menyembuhkan kecemasan.
a.       Antianxiety Drugs, yaitu obat yang dapat menurunkan kecemasan dan termasuk pada golongan yang dinamakan benzodiazepin. Obat-obatan ini sering dikenal dengan transkuiliser (penenang). Transkuiliser ini terdiri dari transkuiliser minor dan transkuiliser mayor.
1)      Transkuiliser Minor
Obat-obat ini biasanya diberikan pada pasien yang mengeluh cemas atau tegang, walaupun beberapa orang sering menggunakannya sebagai pil tidur. Yang termasuk golongan ini adalah valium, librium, miltown, atarax, serax dan equamil. Valium dan transkuiliser lainnya digunakan untuk menekan aktivitas sistem saraf pusat, mengurangi aktivitas simpatis, mereduksi kecepatan jantung, kecepatan pernafasan dan perasaan gelisah serta ketegangan. Masalah yang diasosiasikan pada beberapa trankuiliser adalah kecemasan yang mengganjal. Beberapa pasien yang telah menggunakan obat ini secara tidak teratur berakibat pada kecemasannya muncul kembali dan rasa sakitnya bertambah.
2)      Transkuiliser Mayor
Transkuiliser Mayor dianggap pada bagian yang luas untuk mengurangi bentuk-bentuk kebutuhan yang bervariasi dari pengendalian dan pengawasan. Dalam beberapa kasus dapat mengurangi agitasi, delusi dan halusinasi. Yang termasuk golongan ini thorazine, mellaril, dan stelazine. Transkuiliser Mayor diberikan pada pasien schizophrenia untuk memimpin sebagian besar kehidupannya secara normal dalam komunitas masyarakat, tempat kerjanya, dan mempertahankan kehidupan keluarganya.
b.      Anti Depressant, yaitu obat yang sering diberikan pada pasien yang mengalami depresi mayor. Selain itu juga untuk membantu meningkatkan mood individu yang terdepresi. Obat ini lebih memberikan efek pada membangkitkan energi. Obat anti depressant cenderung mengurangi depresi pada aspek fisik. Contohnya, mereka cenderung untuk meningkatkan tingkat aktivitas pasien untuk mengurangi gangguan makan dan tidur. Orang yang mengalami depresi berat sering mengalami insomnia oleh karena itu pemberian anti depressant harus mempertimbangkan waktu pemberian. Hal ini menjadi pertimbangan manakala beberapa pasien yang berada di rumah sakit selama periode tertentu mempunyai kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Akan tetapi pemberian obat anti depressant yang berlebihan akan menyebabkan kematian.
c.       Antipsychotic
Obat anti psikotik sangat efektif untuk menghilangkan halusinasi dan konfusi dari satu episode schizophrenia akut serta membantu pemulihan proses berpikir yang rasional. Obat ini tidak menyembuhkan schizophrenia, akan tetapi membantu pasien agar dapat berfungsi diluar rumah sakit. Anti psikotik dapat mempersingkat masa perawatan pasien dan mencegah kekambuhan. Walaupun demikian obat ini memiliki efek samping terhadap mulut menjadi kering, pandangan kabur, konsentrasi berkurang hingga gejala neurologis.
d.      Lithium
Bangsa Yunani pertama kali menggunakan metal lithium untuk obat-obatan psycho active. Mereka menentukan kandungan air mineral untuk pasien dengan gangguan bipolar afektif, walaupun demikian mereka belum memahami mengapa hal ini kadang-kadang bisa menghasilkan kesembuhan. Akibat ini kemungkinan besar dikarenakan air mineral yang mengandung lithium.
Metal lithium dalam bentuk tablet dapat meratakan hasil periode tingkah laku depresif pada tingkat sedang dari persediaan norephinephrin terhadap otak.
2.        Electroconvulsive
Terapi elektrokonvulsif (electroconvulsive therapy) dijelaskan oleh psikiater asal Itali Ugo Carletti pada tahun 1939. Pada terapi ini dikenal electroschot therapy, yaitu adanya penggunaan arus listrik kecil yang dialirkan ke otak untuk menghasilkan kejang yang mirip dengan kejang epileptik. Pada saat ini ECT diberikan pada pasien yang mengalami depresi yang parah dimana pasien tidak merespon pada terapi otak. Secara khusus, pasien dengan terapi ECT mendapatkan satu treatment dalam tiga atau beberapa minggu. ECT dapat menyebabkan ketidaksadaran, walaupun demikian arus listrik yang dialirkan sangatlah lemah. Arus listrik dialirkan melalui pelipis menuju ke sisi hemisfer serebral non dominan. Individu akan terbangun dalam beberapa menit kemudian dan tidak ingat apapun tentang terapi. Efek samping dari terapi ECT ini adalah gangguan memori yang menimbulkan kekosongan memori sehingga pasien mengalami gangguan kemampuan untuk menambah informasi baru selama beberapa waktu.
3.        Psychosurgery
Pada terapi ini, tindakan yang dilakukan adalah adanya pemotongan serabut saraf dengan penyinaran ultrasonik. Psychosurgery merupakan metode yang digunakan untuk pasien yang menunjukan tingkah laku abnormal, diantaranya pasien yang mengalamai gangguan emosi yang berat dan kerusakan pada bagian otaknya. Pada pasien yang mengalami gangguan berat, pembedahan dilakukan terhadap serabut yang menghubungkan frontal lobe dengan sistim limbik atau dengan area hipotalamus tertentu. Terapi ini digunakan untuk mengurangi simptom psikotis, seperti disorganisasi proses pikiran, gangguan emosionalitas, disorientasi waktu ruang dan lingkungan, serta halusinasi dan delusi.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan




DAFTAR PUSTAKA

Nevid, J. S., Rathus, S. A., Greene, B. S., 2006. Abnormal Psychology in a Changing World. USA: Prentice Hall.

Plante, G. T. Abnormal Psychology Across the Ages. 2013. California: ABC-CLIO, LLC.

Sue, D., Sue, D. W., Sue, S. Understanding Abnormal Behavior. 2010. USA: Wadsworth, Cengage Learning.

Supratiknya, A. Mengenal Perilaku Abnormal. 1999. Yogyakarta: Kanisius.